Pucuk Daun Bernama Liburan
- thesunsbrightside
- Dec 20, 2018
- 1 min read
Pagiku berawal dengan gegabah dan sinar mentari yang masuk tiba - tiba. Kakiku melesat bagai gulungan ombak; bedanya mereka tak tahu mau kemana. Hutang dengan rentenir angin memang menyebalkan, bukan? Ia membuat waktu mendesakmu dan secara terpaksa kamu harus mengikuti lantun dawainya.
Secangkir air teh celup, monitor yang redup, keyboard yang tersingkup— tanganku lupa menguncup untuk menyalakan dupa dan membubung bersama asap-asap putihnya. Akhirnya batinku yang berbicara dan berharap langit mendengar.

Aku ingin tidur seharian di sepatumu saat kau pergi ke kantor menggunakan sepatu lain. Menunggumu di rumah tanpa mengeluh.
Aku ingin jadi warna kesukaanmu, melingkari lehermu. Berpura-pura sebagai selendang, karena seorang pria lain tidak putus menginginkan dadamu.
Aku ingin mendengkur bagai ular sawah atau angin di sudut kamar, di tumpukan pakaian kotormu. Mereka hangat, dekat, mendekap, dan masih beraroma kita.
— M. Aan Mansyur, Menjadi Hantu, Melihat Api Bekerja.
Sajak M. Aan Mansyur lebih manis daripada mereka yang mengendap di dasar cangkirku. Kadang aku khilaf, jatuh cinta pada aksara yang menyentuh rasa saja.
orang bilang,
Relatable.
Ya begitu. Dan aku membenturkan kepalaku kepada tembok, agar tapak kaki-kakiku kembali menyentuh sang bawana.
Dan kembali memasang sepasang mata kepada sinar melelahkan monitor komputer milik ayahku.
Comments