Selagi Mampu
- thesunsbrightside
- Dec 20, 2018
- 1 min read

Rehat sejenak sambil menenggak kristal hijau yang membuat tenggorokanku sedikit gatal. Otakku belum kembali dari ujiannya yang entah di mana dan baru saja ia meneleponku bahwa hujan badai di sana. Kami bertelepati dan ia membeku kedinginan. Seperti naik roller coaster; sekarang seperti kora-kora, kira-kira panas seperti Gurun Sahara. Aku sibuk mencarikannya peta, tapi dia sendiri bingung mencari rumah. Rumah yang ia mau membuat badai, jadi mau tidak mau harus kembali naik bianglala, tapi berharap supaya tidak terjadi seperti sekaten kemarin. Tapi aku menasehatinya jika dia terlalu banyak cakap, kemudian aku menyuruh sukmaku berbicara kepadanya.
Mereka sepakat akan hari esok. Dan mesin pencetak uangku kini berubah jadi mesin pencetak kertas akuntasi; hanyut aku ditelan ombak samudera. Aku tidak bisa tumpang tangan, namun apa daya yang dalam genggaman adalah logam ringan dan beberapa helai kertas abu-abu. Tapi, untukmu, itu tak masalah, bukan? Selagi aku mampu.
Selagi aku mampu, aku relakan otakku dan sukmaku dan hatiku berada dalam yudha. Malam esok atau lusa kedua tanganku akan ikut angkat senjata, sementara langit-langit masih penuh dengan bintang jatuh. Dan kamu, kamu masih terdiam di langit gelapmu, kan? Berteduh sajalah di bawah konstelasi perbintangan itu, selagi kau bawa jendela pengetahuanku.
Selagi aku mampu, aku selakan lelahku untuk merangkai aksara tentangmu. Tapak kakiku masih mampu menapak, dan kamu, kamu masih bernyanyi di langit senjamu, kan? Bernyanyilah, tapi ingat lelah. Ingat kapuk yang selalu mencintaimu. Pulau impian yang selalu menantimu dan menjadi teman setiamu. Akupun juga ingin kau pulang kepadaku.
Selagi aku mampu, aku akan selalu menatap bintang-bintang jatuh sambil membaca mantra dalam hati. Sambil membayangkanmu.
Bila ingat lelah, jangan lupa menoleh. Ada mentari di sana, berpendar selalu untukmu. Dewa Malam
Comments